4 Dampak Buruk Kecanduan pada Kognitif Anak

TEMPO.CO, Jakarta – Dokter spesialis saraf RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Yetty Ramli, menemukan dampak perilaku adiktif seperti kecanduan game atau media terhadap kemampuan kognitif anak.

“Pemain kecanduan game ternyata fungsi kognitifnya lebih rendah dibandingkan orang normal,” kata Yeti dalam diskusi online, Minggu, 24 Maret 2024.

Pertama, dari segi pengendalian diri, anak dengan adiksi mempunyai permasalahan karena gangguan, sehingga hal-hal disekitarnya membuat mereka tidak berolahraga dan tidak mengulangi perilaku ketika terjadi hal-hal disekitarnya. Selain itu, penyalahgunaan narkoba juga berdampak pada emosi anak yang tidak stabil dan sulit dikendalikan.

“Misalnya kalau disuruh berhenti, mereka akan marah-marah, lari, bahkan ada yang membunuh,” kata Yeti.

Kedua, dari sudut pandang ingatan. Makanannya bisa membuat berkesan sehingga anak bisa belajar. Yeti juga mencatat dampak kecanduan terhadap kemampuan bicara dan komunikasi anak.

Masalah motorik. Anak yang kecanduan akan menurunkan kualitas dan kuantitas hubungannya dengan orang tua dan lingkungan. Hal ini menyebabkan kemampuan komunikasi dan motorik anak berkembang lambat, sehingga orang tua diminta untuk lebih memperhatikan waktu yang dihabiskan anak untuk bermain game atau menjelajahi jejaring sosial, terutama pada masa tumbuh kembang.

“Jadi anak ini akan kesulitan dalam segala keterampilan, baik itu motorik halus, kasar, maupun verbal, terutama yang tertunda,” ujarnya.

Kurangnya interaksi anak dengan lingkungan juga menimbulkan dampak ketiga, yaitu aspek keterampilan sosial. Anak yang tidak tahu cara bersosialisasi karena kecanduannya cenderung percaya diri dan lebih suka menyendiri.

Keempat, dari segi masalah sistem kognitif, dimana bagian depan otak anak dan remaja yang berfungsi mengambil keputusan, mengendalikan emosi, dan mengevaluasi situasi belum berkembang dengan baik. Jika hal ini memperburuk kondisi tubuhnya, anak akan kesulitan mengambil keputusan dan rencana sehingga menimbulkan emosi tanpa memikirkan dampak dari keputusan tersebut.

“Kita tahu bahwa emosinya berkembang sebelum dia (otaknya) bekerja membuat perencanaan, yang membuat emosi anak muda menjadi begitu gencar sehingga dia kesulitan memutuskan, ‘Baik, saya baik atau buruk.” karena dia lebih banyak mempermainkan emosi,” jelas Yeti.

Pilihan Editor: Bagaimana cara mengurangi kecanduan ponsel, termasuk ekstremis?

Adrenalin atau dikenal juga dengan nama epinefrin merupakan hormon yang biasanya diproduksi saat tubuh dihadapkan pada situasi berbahaya atau stres. BACA SELENGKAPNYA

Demensia pikun didefinisikan sebagai penurunan fungsi jaringan otak atau bagian luar korteks yang mengakibatkan penurunan kognitif. BACA SELENGKAPNYA

Gaya hidup membantu mengurangi risiko demensia dan demensia Alzheimer. BACA SELENGKAPNYA

Kehilangan orang yang dicintai itu sulit. Tak jarang, kesedihan bisa berlangsung lama, bahkan bertahun-tahun. BACA SELENGKAPNYA

Justin Bieber menangis di Instagram. Reaksi warganet beragam. Bahkan istrinya, Hayley, berbicara sambil menangis. BACA SELENGKAPNYA

Semua tindakan tersebut tidak berbahaya, karena bisa diubah menjadi hidup sehat. BACA SELENGKAPNYA

Manajemen stres merupakan salah satu cara mengelola emosi yang sebaiknya dilatih setiap hari agar Anda tidak mudah marah dalam situasi buruk. BACA SELENGKAPNYA

Para psikolog mengatakan bahwa wajar jika seseorang merasa kecewa karena harapannya belum terpenuhi, namun rasa kecewa tersebut harus dikendalikan agar tidak menimbulkan kecemasan. BACA SELENGKAPNYA

Dengan menerapkan tip-tip ini ke dalam kehidupan sehari-hari, Anda dapat meningkatkan daya ingat dan mengurangi kecenderungan untuk lupa. BACA SELENGKAPNYA

Ternyata lupa memiliki manfaat penting bagi kesehatan otak dan kreativitas Anda. BACA SELENGKAPNYA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *