Anak-Anak Gandrungi Panahan Tradisional Yogyakarta, Ramaikan Peringatan 212 Tahun Pakualaman

TEMPO.CO, Yogyakarta – Ada yang menarik dalam kompetisi nasional Jemparingan Mataraman atau busur tradisional Yogyakarta dalam rangka HUT ke-212 Hadeging atau berdirinya Kadipaten Pakualaman tahun ini.

Acara ini dihadiri 880 orang dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, serta anak-anak dan remaja yang tertarik untuk mengikuti permainan budaya yang diperuntukkan sebagai budaya alam atau WBTb.

Di antara peserta muda tersebut adalah Aksa yang berusia 10 tahun dari Sleman dan Hani yang berusia 15 tahun dari Surabaya. Keduanya asyik mengikuti turnamen bergengsi yang memadati Lapangan Kenari, Yogyakarta pada Minggu, 2 Juni 2024.

“Saya sudah memainkan game-game ini sejak tahun 2022. Awalnya saya diundang, lama-lama saya suka,” kata Hani saat bertanding.

Hani mengaku tertarik dengan olahraga tradisional antara lain karena bentuk busurnya.

Di sisi lain, Aksa mengaku tertarik untuk mengikuti olahraga lompat karena keseruan yang ia rasakan selama melakukan olahraga tersebut. “Saya suka Jemparingan karena seru. Awalnya terasa sulit, tapi menjadi mudah,” kata Aksa yang mengikuti lomba Jemparingan sebanyak tiga kali namun tidak meraih juara.

Lomba nasional Jemparingan Mataraman atau panah tradisional di Yogyakarta dalam rangka memperingati Hadeging (pendirian) Kadipaten Pakualaman ke-212 tahun 2024. (Dokter Khusus)

Ketua Panitia Hadeging Kadipaten Pakualaman, Bendoro Pangeran Haryo atau BPH Kusumo Bimantoro mengatakan, permainan tradisional Jemparingan pertama kali dipertunjukkan di lingkungan keluarga Kerajaan Mataram hingga menjadi perlombaan para prajurit kerajaan. Namun seiring berjalannya waktu, olahraga ini menjadi populer di masyarakat dan dikalahkan dengan tujuan melestarikan budaya.

Menurut Bimantoro, jemparingan tidak hanya sekedar olah raga saja, tapi juga salah satu cara untuk mengembangkan emosi dan semangat yang kuat. “Makna khusus Jemparingan itu seperti olah raga, olah indra, dan olah kemauan,” ujarnya.

Lomba nasional Jemparingan Mataraman atau panah tradisional di Yogyakarta dalam rangka memperingati Hadeging (pendirian) Kadipaten Pakualaman ke 212 tahun 2024. (Dok Khusus) Filosofi Jemparingan

Berbeda dengan anak panah yang umumnya dibuat berdiri, jemparingan yang berasal dari kata jemparing yang berarti anak panah, dibuat dengan kaki yang lebar.

Para pemanah jemparingan Mataram tidak hanya menembak pada titik persimpangan kaki saja, namun juga tidak mengenai mata. Busur pada jemparingan diposisikan jauh di depan perut untuk mengarahkan anak panah ke perhatian pemanah.

Cara menembak ini sesuai dengan falsafah jemparingan Mataram, yaitu pamenthanging gandewa untengtenging Cipta yang artinya busur lurus dan konsentrasi tertuju pada sasaran yang dituju.

Filosofi kehidupan sehari-hari ini memiliki pesan bahwa orang yang mempunyai mimpi harus fokus sepenuhnya pada tujuan tersebut untuk mewujudkan mimpinya.

Selain itu mengingatkan kita bahwa harapan telah tercapai, bahwa musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri. Dari segi bagaimana manusia mampu mengarahkan pikiran dan niatnya, hatinya penuh dengan tujuan yang ingin dicapainya.

Lomba nasional Jemparingan Mataraman atau panah tradisional di Yogyakarta dalam rangka memperingati Hadeging (pendirian) Kadipaten Pakualaman ke-212 tahun 2024. (Dokter Khusus)

Pada acara tersebut, Abdi Dalem Pura Pakualaman dari Kapanitran KMT Urusan Sestrodiprojo mengatakan, Jemparingan juga memiliki keunikan dalam pakaian yang dikenakan.

Padahal pemanah Jemparingan harus memanah busurnya dengan memakai pakaian daerahnya, seperti baju pranakan atau surjan, jika berasal dari Pulau Jawa.

Busur yang digunakan dalam jemparingan sendiri disebut gandewa. Sedangkan tujuannya bukanlah sebuah lingkaran, melainkan sebuah gendang kecil yang disebut wong-wongan atau pendulum yang memperlihatkan seseorang sedang berdiri.

Contohnya adalah silinder lurus yang panjangnya sekitar 30 inci dan lebarnya sekitar 3 inci. Dari atas sekitar 5 inci berwarna merah, disebut molo atau sirah atau kepala. Kemudian bagian bawahnya berwarna putih dan disebut batang atau badan.

“Jadi tujuan Jemparingan itu pendulum. Kalau yang merah titik 3 dianggap kepala. Badan yang putih nilainya satu,” ujarnya.

Pilihan Editor: Belajar Jemparingan, Warga Dusun Soka Bantul Jaga Tradisi Budaya dan Olahraga.

Tahanan Kejaksaan Negeri Mataram yang diketahui bernama Z berhasil melarikan diri dari mobil yang dikendarainya menuju Lapas.

Jogja Restoration Art berusia 39 tahun. Apa saja koleksi museum dan situs bersejarah yang ada di Yogyakarta? Baca selengkapnya

Menyambut ajang MXGP 2024, para kompetitor mengikuti parade sepeda ontel dan mobil tradisional cidomo Mataram.

Pameran seni rupa kontemporer ArtJog kembali digelar pada 28 Juni – 1 September 2024 di Museum Nasional Jogja, Yogyakarta. Baca selengkapnya

Petugas gabungan mengeluarkan tiket bagi banyak bus wisata yang masuk ke Yogyakarta karena masa uji coba KIR telah habis.

Kabupaten Sleman tempat ditemukannya patung Ganesha dikenal sebagai daerah yang banyak memiliki situs candi bersejarah. Baca selengkapnya

Salah satu yang menarik dari acara ArtJog tahun ini adalah adanya program ArtJog Kids yang menampilkan bakat seni anak-anak. Baca selengkapnya

Karst Gunungkidul merupakan bagian penting dalam menjaga kelestarian lingkungan pesisir. Apa yang terjadi jika proyek klub selesai? Baca selengkapnya

Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta telah mengeluarkan rambu pilihan angkutan wisata untuk menjadi pedoman masyarakat dalam memilih moda transportasi pada saat liburan sekolah. Baca selengkapnya

Pameran seni khusus Museum Nasional Jogja bisa menjadi sorotan saat wisatawan berlibur ke Yogyakarta pekan ini. Baca selengkapnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *