Kerusuhan 13 Mei 1969 Terjadi di Malaysia dan Penjarahan 13 Mei 1998 di Indonesia Jadi Kenangan Kelam

TEMPO.CO , Jakarta – Indonesia dan Malaysia punya kenangan kelam atas peristiwa 13 Mei, meski berbeda tahun. Di Indonesia, tanggal 13 Mei dikenal sebagai hari kerusuhan etnis tahun 1998 terhadap etnis Tionghoa. Sementara itu, tanggal 13 Mei juga dikenal sebagai hari menyedihkan di Malaysia karena terjadinya kerusuhan antara etnis Tionghoa dan Melayu pada tahun 1969.

Bagaimana kisah kelam 13 Mei di Malaysia dan Indonesia?

Bencana 13 Mei di Malaysia

Disadur dari pemberitaan majalah Tempo edisi Sabtu, 7 November 1987, konflik antar “suku” atau kelompok – terutama Tionghoa dan Melayu – sering terjadi di Malaysia. Namun letusan paling dahsyat terjadi pada 13 Mei 1969. 196 orang tewas dalam peristiwa tersebut, 1.019 orang dinyatakan hilang, dan 9.143 orang dipenjara.

Program ini dimulai di Kuala Lumpur, Malaysia. Pada hari Sabtu tanggal 20 Mei 1969, lebih dari 500.000 orang memasuki tempat pemungutan suara untuk memilih calon dari 7 partai untuk 144 kursi di Ryat Parishad. Sehari setelah pemungutan suara, kelompok oposisi DAP dan pendukung Mobertian merayakan kemenangan mereka.

Tentu saja, pada saat itu belum ada kepastian apakah Barisan akan lebih baik daripada Barisan Nasional, namun suasana kemenangan sudah terasa. Mereka berbaris di sepanjang jalan utama Kuala Lumpur sambil mengibarkan bendera partai dan membunyikan klakson mobil. Mereka yang berasal dari kelompok Tionghoa pun meneriakkan slogan-slogan pedas terhadap kelompok Melayu.

Barisan Nasional tidak tinggal diam. Pada tanggal 13 Mei 1969, rencana dibuat untuk parade kompetitif yang dipimpin oleh Ketua Menteri Selangor, Dato’ Harun Bin Idris. Ratusan pendukung Barisan Nasionali berkumpul di kediaman presiden UMNO Selangor. Namun kabar buruk datang dari Kuala Lumpur. Di Setapak, Malaysia bagian utara, sekelompok warga Tionghoa dan India melemparkan botol dan batu ke arah sekelompok pemuda Melayu yang ikut bergabung dengan mereka.

Mendengar hal tersebut, kelompok Barisan Nasional yang berkumpul di Selangor menjadi marah. Berbekal batu, pisau, bom api, pipa dan buluh tajam, mereka bergerak menuju Chinatown melalui Jalan Raja Muda dan Jalan Hale. Konflik etnis meletus di seluruh Malaysia setelah orang Tionghoa bersenjata menyerang sekelompok pemuda di kawasan Chow Kit, Kuala Lumpur.

Orang Melayu yang mengenakan ikat kepala merah atau putih melakukan kekerasan dan membunuh orang Tionghoa serta membakar rumah mereka. Saat itu, orang Tionghoa datang ke rumah Malay dengan membawa pistol dan senjata pendek dan melakukan hal yang sama. Faktanya, lusinan orang yang tidak bersalah ditemukan tewas di kursi banyak bioskop malam itu.

“Kuala Lumpur menjadi lautan api,” tulis Tengku Abdul Rahman, “Bapak Bangsa” Malaysia (saat itu Perdana Menteri) mengenang tragedi tersebut dalam bukunya.

Meskipun jam malam diberlakukan pada pukul 20 malam, kerusuhan komunal terus terjadi di banyak tempat dari waktu ke waktu. Situasi yang memburuk mendorong Wakil Perdana Menteri Tun Abdul Razak mengirimkan sekitar 2.000 personel militer dan 3.600 polisi ke Kampong Bahru dan Chow Kit pada pukul 22.00. Tanpa koordinasi yang baik – hanya berbekal “perintah menembak”, para prajurit, sebagian besar dari Sarawak, menembak tanpa pandang bulu kepada siapa pun yang mereka lihat dalam kegelapan malam di Kuala Lumpur. Jumlah korban tewas meningkat dalam beberapa hari terakhir.

Kerusuhan komunal yang berkepanjangan akhirnya dapat dikendalikan dengan menyatakan keadaan darurat di negara tersebut. Tunku Abdul Rahman membentuk panitia khusus yang beranggotakan 8 orang. Sebuah komite yang dikenal sebagai Dewan Operasi Nasional (NOC), yang diketuai oleh Tun Abdul Razak, diberi wewenang untuk mengeluarkan perintah dan menangani konflik etnis. Penangkapan dan pembekuan media terus meredakan situasi politik dalam negeri.

Seminggu kemudian, undangan tersebut dicabut di banyak daerah dan pers diizinkan untuk menerbitkannya melalui sensor yang ketat. Operasional sehari-hari perlahan pulih di tengah banyaknya penangkapan massal yang masih dilakukan pemerintah. Sementara itu, Korporasi telah mengambil dua keputusan penting. Yaitu: “Critical Goodwill Rules” (Politik) dan “New Economic Strategy” (Ekonomi), yang masing-masing bertujuan untuk mewujudkan persatuan multiras dan “memberikan perspektif baru terhadap rencana pembangunan Malaysia”.

Berikutnya: Kerusuhan Mei 1998 di Indonesia

Kerusuhan Mei 1998 menjadi sejarah kelam bagi masyarakat Indonesia, dengan banyaknya pelanggaran HAM pada saat itu. Salah satunya adalah tragedi Trishakti yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trishakti pada 12 Mei 1998, keesokan harinya, pada 13 Mei 1998, setelah peristiwa pelanggaran HAM lainnya yang disebut kerusuhan Mei 1998.

23 tahun yang lalu pada tanggal 13-15 Mei, Indonesia sedang dilanda gejolak akibat kerusuhan etnis terhadap etnis Tionghoa di Jakarta, Medan, Palembang, Solo, Surabaya dan masih banyak kota lainnya. Bapak Palupi, koordinator penelitian dan pengumpulan data tim relawan, menyimpulkan bahwa kerusuhan Mei 1998 disebabkan oleh sentimen anti-Tionghoa yang sudah berlangsung lama dan digunakan untuk memicu kerusuhan sebagai akibat dari krisis uang tunai.

Pada saat itu, muncul tuduhan bahwa etnis Tionghoa adalah pihak yang bertanggung jawab atas krisis mata uang ini. Insentif ini disebarkan oleh banyak jenderal yang tidak ada hubungannya dengan perekonomian. Tuduhan tersebut didasarkan pada informasi palsu bahwa etnis Tionghoa melarikan diri. Terkait dengan itu, perekonomian etnis Tiongkok yang stabil dan strategis, serta dianggap lebih berhasil, semakin memperkuat kebencian terhadap komunitas etnis.

Kebencian dan kecurigaan beterbangan di udara seperti angin kuno. Ketegangan semakin memuncak dengan adanya rumor bahwa etnis Tionghoa adalah bagian dari rezim Sukarno. Mereka dituduh menganut ideologi komunis yang bertentangan dengan ideologi massa. Kesadaran yang berkembang menempatkan etnis Tionghoa sebagai minoritas yang tidak diinginkan dan tidak diinginkan.

Dalam kerusuhan tersebut, banyak toko dan tempat usaha yang dirusak oleh kemarahan masyarakat, terutama milik orang Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan, dan Surakarta. Pemogokan besar-besaran ini juga membuat takut para pemilik toko di kota-kota tersebut dan mereka menulis kata-kata “kepemilikan asli” atau “pro-reformasi” di depan toko mereka karena para penyerang hanya menargetkan masyarakat Tiongkok.

Kerusuhan Mei 1998 merupakan peristiwa yang memilukan bagi etnis Tionghoa di Indonesia, toko-toko dan rumah-rumah mereka dijarah, dibakar, dan bahkan dihancurkan. Selain itu, terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang serius terhadap perempuan Tiongkok, yang diperkosa, dilecehkan, dianiaya dan dibunuh. Ironisnya, pemerkosaan tidak hanya dilakukan di rumah korban tetapi juga di tempat umum di hadapan orang lain.

Peristiwa tersebut meninggalkan trauma psikologis yang mendalam bagi seluruh korban, bahkan ada yang mengakhiri hidup karena tidak kuat menanggung beban trauma tersebut, ada pula yang menjadi gila, diusir dari keluarga, dan menghilang ke luar negeri setelah berpindah agama. Identitas. Total korban tewas akibat kerusuhan Mei 1998 adalah sekitar 1.188 orang, dan sedikitnya 85 perempuan dilaporkan mengalami pelecehan seksual.

Hendrik Khoirul Muhid Majalah Tempo

Pilihan Redaksi: Kerusuhan Mei 1998: Sejarah Kelam Pelanggaran HAM di Indonesia

Prancis mengumumkan keadaan darurat di Kaledonia Baru dan mengirimkan pasukan untuk melindungi wilayah tersebut. Baca selengkapnya

Bandara Internasional Kaledonia Baru ditutup akibat kerusuhan dan penjarahan yang menewaskan tujuh orang. Baca selengkapnya

Lombok punya Lingkok Datu, Pantai Penisok. Terletak di distrik Jewru, memiliki kombinasi alam yang sangat indah dan belum banyak pariwisata. Baca selengkapnya

Berikut beberapa rekomendasi hotel dekat KL Tower yang mungkin bisa menjadi pilihan Anda. Baca selengkapnya

Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial, Fakultas Hukum UGM merespons kejadian pelanggaran HAM pada PWF 2024 di Bali. Baca selengkapnya

Emmanuel Macron menggambarkan kerusuhan di Kaledonia Baru sebagai hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Baca selengkapnya

9 Mobil Rudy Salim, Dimana 5 Supercarnya? Baca selengkapnya

Para pekerja migran mengaku tidak mengetahui tekong kapal yang dibawa ke Batam dari Malaysia melalui jalur ilegal. Baca selengkapnya

Reformasi pada bulan Mei 1998 merupakan titik balik dalam sejarah. Soeharto mundur, krisis ekonomi, pelanggaran HAM, pergerakan mahasiswa menjadi isu saat itu. Baca selengkapnya

Sebelum melapor ke Kejaksaan Agung, Bea dan Cukai mengajukan pengaduan terhadap 9 mobil mewah milik Kenneth Koh Lew di BareScrim.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *