Kilas Balik 69 Tahun Konferensi Asia Afrika dan Dampaknya bagi Dunia

TEMPO.CO, Jakarta – Hari ini, tepatnya 69 tahun lalu atau 18 April 1955, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika atau disingkat Konferensi Asia-Afrika di Bandung, Jawa Barat. Pertemuan akbar ini menjadi ajang pertemuan negara-negara di dua benua yang tidak mendukung Amerika Serikat atau Uni Soviet.

Kilas balik

KTT Asia-Afrika atau kadang disebut Konferensi Bandung merupakan konferensi antara negara-negara Asia dan Afrika yang utama baru saja merdeka. Konferensi ini dimulai oleh Indonesia, Burma (sekarang Myanmar), Ceylon (sekarang Sri Lanka), India dan Pakistan. Koordinatornya adalah Menteri Luar Negeri RI Sunario.

Konferensi ini bermula ketika Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo pada tanggal 23 Agustus 1953 mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Sementara perlunya kerjasama antara negara-negara Asia dan Afrika demi perdamaian dunia.

Kemudian, pada tanggal 25 April hingga 2 Mei 1954, Pengadilan Kolombo diadakan di Sri Lanka. Pertemuan tersebut dihadiri oleh para pemimpin India, Pakistan, Burma dan india. Dalam konferensi ini, Indonesia mengusulkan perlunya Konferensi Asia-Afrika.

Selain itu pada tanggal 28-29 Desember 1954, untuk mematangkan gagasan tema Konferensi Asia Afrika, diadakan Konferensi Bogor. Dalam sidang tersebut dirumuskan lebih tepat tujuan sidang dan siapa saja yang akan diundang.

Konferensi Asia Afrika akhirnya diselenggarakan pada tanggal 18 hingga 24 April 1955 di Gedung Merdeka, Bandung. Pertemuan tersebut bertujuan untuk mendorong kerja sama ekonomi dan budaya antara Asia dan Afrika, serta melawan kolonialisme atau neokolonialisme yang dilakukan Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya.

Cowie, H.R. Australia dan Asia. A Changing Relationship (1993) (1993) mengungkapkan bahwa perwakilan dari 29 negara mewakili lebih dari separuh penduduk dunia. Konferensi tersebut merefleksikan sikap terhadap konfrontasi antara Amerika Serikat (Blok Barat) dan Uni Soviet (Blok Timur) selama Perang Dingin.

Pendapat negara-negara Asia Afrika dalam konferensi ini adalah sebagai berikut:

1. Keengganan negara-negara Barat untuk berkonsultasi dengan mereka mengenai keputusan yang mempengaruhi Asia selama Perang Dingin.

2. Kekhawatiran akan ketegangan antara Uni Soviet dan Amerika Serikat.

3. Keinginan untuk meletakkan dasar hubungan damai antara Tiongkok dan Barat.

4. Antikolonialisme, khususnya pengaruh Perancis di Afrika Utara dan koloni di bawah kekuasaan Perancis di Aljazair.

5. Keinginan Indonesia untuk memajukan haknya di Iria Barat yang berkonflik dengan Belanda.

Hasil KTT Asia-Afrika

Dilansir dari Antara, KTT Asia-Afrika merupakan pertemuan besar pertama antara negara-negara korban kolonialisme 10 tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II dan 10 tahun setelah Indonesia merdeka. Belakangan ini negara-negara merdeka semakin memperkuat posisinya di tengah Perang Dingin yang kerap memaksa mereka harus memilih antara Blok Timur dan Blok Barat.

Konferensi tersebut hanya terjadi satu kali dalam sejarah, ketika banyak negara di Asia dan Afrika masih terjajah dan terdiskriminasi, ketika para pelaku kolonialisme mendeklarasikan berakhirnya kolonialisme. Bahkan, Presiden pertama RI Sukarno, salah satu penggagas konferensi tersebut, mengatakan bahwa kolonialisme masih hidup dalam bentuk lain.

Saya beritahu kalian semua, kolonialisme belum mati. Kolonialisme juga memiliki pakaian modern, kontrol ekonomi, kontrol intelektual, kontrol fisik terhadap komunitas kecil asing. dalam suatu negara”, kata Bung Karno pada pembukaan Konferensi Asia Afrika di Bandung.

Padahal, saat itu banyak negara Asia dan Afrika yang masih belum lepas dari kolonialisme. Di sisi lain, meskipun mereka telah kehilangan banyak negara jajahannya, penguasa kolonial tetap mempertahankan pengaruhnya dengan cara lain, termasuk melalui korporasi dan modalnya.

Bung Karno berusaha menjangkau wilayah-wilayah lain di luar Asia dan Afrika, khususnya Amerika Latin, Indonesia dan negara-negara Asia Afrika lainnya yang telah merdeka ratusan tahun sebelum merdeka, namun masih terjajah oleh modal asing dan kekuatan korporasi. Bung Karno mencoba menyampaikan bahwa kolonialisme masih hidup melalui korporasi asing dan sejenisnya, yang justru mempengaruhi lahir dan matinya suatu rezim di Amerika Latin.

Secara resmi, terdapat 29 negara yang hadir dalam Konferensi Asia-Afrika, namun ada juga beberapa perwakilan Amerika Latin yang hadir. Amerika Serikat dan Uni Soviet sendiri sama-sama mengawasi konferensi tersebut dengan cermat. Blok Barat dan Blok Timur memastikan KTT Asia-Afrika tidak menjadi ajang mobilisasi pihak salah satunya. Bung Karno dan para pemimpin Asia-Afrika juga menegaskan bahwa baik Soviet maupun Amerika Serikat tidak menginginkan Asia-Afrika di sana-sini.

Dampak KTT Asia-Afrika terhadap dunia

Konferensi Asia-Afrika tidak hanya mendorong 29 negara saja, namun juga apa yang disebut oleh Bung Karno sebagai “emerging new force” untuk membangun solidaritas, kerja sama dan kerja sama di benua-benua. Konferensi tersebut juga menghasilkan piagam yang menjadi acuan moral dan politik bagi negara-negara baru, yang menyatakan kemerdekaan dan perlawanannya terhadap imperialisme dan kolonialisme.

Piagam tersebut bernama Bandung Dasasila, dan memuat komitmen Asia-Afrika untuk mendukung hak asasi manusia, penyelesaian semua konflik secara damai dan penghormatan terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah suatu negara, tulis Jafar M Sidi dalam Bandung Spirit (KAA). Tetap relevan sebagaimana disebutkan Antara.

Selain Dasasila Bandung, KAA 1955 juga mengeluarkan komunike yang mengutuk rasisme dan kolonialisme, termasuk dukungan terhadap rakyat Palestina untuk mendapatkan kembali hak-haknya di tanah airnya. Komunike dan 10 prinsip tersebut mencerminkan kemerdekaan Asia dan Afrika yang bagi Indonesia sendiri sesuai dengan amanat politik luar negeri yang bebas dan aktif.

Negara-negara Asia-Afrika tidak mau dipaksa untuk memilih antara Soviet atau Amerika Serikat, karena keduanya pada dasarnya mewakili kolonialisme dan imperialisme. Soviet sama imperialis dan kolonialisnya dengan Barat dalam menghadapi negara-negara Eropa Timur, Asia Tengah, dan Trans-Kaukasus. Keduanya diyakini menghalangi hak untuk menentukan nasib sendiri di banyak wilayah di dunia.

Sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua, negara-negara Asia dan Afrika telah mencoba memasukkan hak menentukan nasib sendiri ke dalam prinsip-prinsip PBB. Namun, pihaknya tetap menentang negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, yang menuntut penghapusan klausul kolonial dalam seluruh resolusi PBB. Pada tahun 1952, Amerika Serikat juga memveto resolusi Majelis Umum PBB yang menyatakan bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri adalah bagian dari hak asasi manusia.

“Amerika Serikat juga menolak kewajiban negara-negara kolonial untuk melaporkan kemajuan negara jajahan dalam membentuk pemerintahannya sendiri,” tulis Jafar.

Namun berkat Deklarasi Bandung, beberapa bulan setelah KAA, tepatnya pada bulan November 1955, PBB menyepakati rumusan hak untuk menentukan nasib sendiri yang diterima dalam Resolusi PBB tahun 1960 dan Perjanjian PBB tahun 1966. imperialisme berbagai macam negara

Aliansi tersebut kemudian mengkristal dalam sebuah gerakan global penting yang independen dari kekuatan dunia, yaitu Gerakan Non-Aliansi pada tanggal 1 September 1961, yang salah satu penggagasnya adalah Bung Karno. Dari Konferensi Asia-Afrika juga terciptalah terminologi global untuk mengungkapkan sikap, sikap dan kemandirian negara-negara baru tersebut, termasuk istilah “Dunia Ketiga”.

“Istilah ini mengacu pada negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang menolak untuk meninggalkan negara tersebut selama Perang Dingin, serta menggambarkan orang-orang di negara-negara berkembang yang merasakan pahitnya kolonialisme,” tulis Jafar.

Gerakan ini semakin jarang terjadi, menolak untuk tunduk pada arsitektur politik dan ekonomi global yang diciptakan oleh para eks penjajah, yang pada dasarnya dapat melanggengkan kediktatoran terhadap negara-negara terjajah, sebagaimana disebutkan Bung Karno pada Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.

Pada tahun 1974, semakin banyak negara independen yang mengadopsi piagam yang mengakui pentingnya restrukturisasi perekonomian global, sehingga menawarkan ruang yang lebih luas bagi negara-negara berkembang untuk berpartisipasi. Hal ini kemudian menjadi dasar sistem baru yang disebut Kerjasama Selatan-Selatan antar negara berkembang.

“Banyak hal yang belum tercapai sejak Semangat Bandung 1955, namun ide-ide besar perjuangan melawan eksploitasi pihak yang lebih kuat melawan yang lebih lemah masih tetap hidup hingga saat ini,” kata Jafar.

Dengan jatuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin, gerakan Asia-Afrika kehilangan konteks dan kepentingannya, begitu pula dengan Gerakan Non-Blok. Namun, menurut Jafar, jika dicerna dan dicermati lebih dalam, semangat anti imperialisme dan kolonialisme yang dihidupkan kembali dalam Konferensi Asia Afrika masih tetap hidup, bahkan lebih kritis dan kuat.

“Tahun depan, 70 tahun setelah KAA 1955, Indonesia dan Dunia Ketiga harus bersatu kembali untuk menyampaikan pesan kepada jagat raya bahwa semangat Bandung tetap ada selamanya,” tulis Jafar.

DI ANTARA

Pilihan Editor: Profesor Hubungan Internasional Unair: Indonesia boleh mengundang negara-negara anggota KAA untuk menekan Israel

Persatuan Alumni Jawa Barat (PERSADA) membantu meningkatkan hubungan persahabatan antara Jepang dan Indonesia. Baca selengkapnya

Masyarakat atau wisatawan dapat mengunjungi Pendop wisata sejarah Kota Bandung, dibatasi maksimal 100 orang per hari. Baca selengkapnya

Basarah menilai pernyataan Prabowo membuktikan PDIP berhasil memulihkan status, peran, dan nama baik Sukarno. Baca selengkapnya

Hingga kedalaman 4,5 meter di dalam tanah ditemukan empat gempa terkait sesar Lembang.

Pengamat politik Ujang Komarudin menilai pernyataan Prabowo soal Bung Karno yang tergabung dalam suatu partai tidak bisa dijadikan rujukan terhadap PDIP. Baca selengkapnya

Presiden terpilih Prabowo Subianto mengatakan Bung Karno adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Apa kata politisi PDIP? Baca selengkapnya

Prabowo mengatakan, selalu ada partai politik yang mengaku punya Bung Karno. Apa kata PDIP dan pengamat? Baca selengkapnya

Calon presiden, Prabowo Subianto, meyakini dirinya akan mendapat dukungan dari Soekarno atau Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia, jika ia masih hidup. Ia mengatakan, keyakinan itu dimiliki oleh Prabowo karena ia memperjuangkan hal yang sama seperti Soekarno. Baca selengkapnya

Bung Karno tidak hanya menjadi perhatian bangsa Indonesia, tapi juga dunia atas berbagai jasa yang ditawarkannya. Baca selengkapnya

Prabowo mengatakan, selalu ada partai politik yang mengaku punya Bung Karno. Baca selengkapnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *