Koalisi Seni Susun Kajian untuk Tolak RUU Penyiaran

TEMPO.CO, Jakarta – Asosiasi Aliansi Seni menyoroti persoalan rancangan perubahan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 (RUU Penyiaran). Kelompok tersebut mengatakan mereka sedang mempersiapkan sebuah studi sebagai tanggapan terhadap RUU Penyiaran, yang pembahasannya masih tertunda.

Manajer advokasi Aliansi Seni Hafez Gumay mengatakan dalam keterangan resmi yang dikutip Selasa, 4 Juni 2024: “Aliansi Seni akan menggunakan kesempatan ini untuk mempersiapkan pengajuan RUU Penyiaran yang lebih matang.”

Hafez mengatakan Remotivi dan beberapa kelompok masyarakat sipil lainnya juga setuju dengan penolakan Aliansi Seni. Ia menegaskan, Aliansi Seni membantu mendukung wacana yang kaya dan RUU Penyiaran tidak hanya menyentuh pers dan media, tetapi juga berdampak besar pada kebebasan berkesenian.

Lebih lanjut, Hafez juga menyebut organisasinya tidak pernah diundang DMK saat pembahasan RUU Penyiaran. “Kami belum berkesempatan berbicara langsung dengan DPR RI,” ujarnya.

Hafez menjelaskan bahwa permasalahannya tidak berhenti sampai di situ, dan RUU Penyiaran bukanlah undang-undang pertama yang ditolak oleh Aliansi Seni. Ia mengatakan, sebelumnya, kelompok tersebut juga fokus pada legislasi seperti memberlakukan undang-undang promosi budaya dan memveto RUU musik.

Sebelumnya, Aliansi Seni menilai sejumlah hak akan dibatasi akibat perubahan regulasi, seperti hak menciptakan karya tanpa sensor dan intimidasi, hak mendapat dukungan, saluran distribusi dan imbalan atas karya tersebut, serta hak untuk mendapatkan hak atas karya tersebut. Berpartisipasi dalam kehidupan budaya.

“Aliansi Seni mengidentifikasi tiga persoalan utama dalam RUU Penyiaran,” kata manajer advokasi Aliansi Seni Hafez Gumay dalam keterangan resmi yang dikutip Kamis, 30 Mei 2024.

Hafiz menjelaskan permasalahan pertama yang ditimbulkan oleh RUU Penyiaran adalah terciptanya sistem sensor baru yang mengancam kebebasan seniman. Keadaan ini disebabkan adanya perluasan tanggung jawab dan wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dari sebelumnya pengawasan hingga pengaturan isi dan isi siaran.

Melalui ketentuan UU Penyiaran, ia menyatakan mempunyai kewenangan untuk menerbitkan sertifikat kesesuaian isi siaran sesuai dengan Kode Etik Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS) tanpa melibatkan pihak lain dalam mengidentifikasi pemangku kepentingan. Ia mengatakan, situasi tersebut akan menghambat terwujudnya cita-cita UU Penyiaran, yaitu menghasilkan siaran yang mencerminkan berbagai aspirasi masyarakat.

Selain itu, permasalahan kedua yang ia soroti adalah potensi artis dikriminalisasi dan dibungkam karena kewajiban sensor internal. Hal ini terjadi dengan dalih menganut P3 dan SIS yang dilandasi nilai subjektif dan multitafsir seperti agama, moral, dan adat istiadat.

“Pembatasan seperti ini akan berisiko semakin menekan ekspresi kelompok minoritas dan rentan,” ujarnya.

Terakhir, ia menjelaskan persoalan ketiga terkait menyusutnya ruang sipil akibat meluasnya jangkauan penyiaran di ranah digital. Padahal, kata dia, cakupan sebelumnya hanya mencakup televisi dan radio yang menggunakan frekuensi publik.

Situasi ini akan menyebabkan semakin hilangnya ruang bagi para seniman untuk mendistribusikan karyanya, terutama bagi para seniman yang selama ini memilih platform digital sebagai saluran distribusi utamanya.

Ia menilai ketentuan RUU Penyiaran tidak hanya berdampak buruk bagi seniman, tetapi juga akan melemahkan hak masyarakat untuk memperoleh karya sesuai keinginan dan kebutuhannya sendiri.

Pilihan Editor: Para ahli membahas kriteria pengganti Bambang Susantono sebagai kepala lembaga IKN

KPID Jakarta berharap RUU Penyiaran disahkan sesuai dengan harapan semua pihak, media, dan masyarakat. Baca selengkapnya

Kemenkopolhukam merilis Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2023 yang menunjukkan penurunan. Baca selengkapnya

Menanggapi laporannya di Polda Metro Jaya, Hasto mengatakan pernyataannya di televisi nasional merupakan produk berita. Baca selengkapnya

Keterbukaan informasi harus dilakukan secara bertanggung jawab dan tidak merugikan kepentingan umum. Baca selengkapnya

Vikri Rastra dan Kojek Rap Betawi mengkritik RUU penyiaran. Mereka tidak ingin kebebasannya dibatasi. Baca selengkapnya

AJI telah menetapkan daftar permasalahan RUU Penyiaran yang akan dibahas dengan DPR. Baca selengkapnya

Revisi UU Penyiaran yang dilakukan tanpa partisipasi Dewan Pers dan pers dapat menimbulkan berbagai permasalahan. Baca selengkapnya

Ketua DPRD Tangsel Abdul Rasyid menandatangani perjanjian integritas menolak perubahan UU Penyiaran. Baca selengkapnya

Dewan Pers akan memberikan nasihat kepada Partai Demokrat mengenai perselisihan RUU penyiaran. Perlu ditekankan bahwa jurnalisme investigatif dilarang. Baca selengkapnya

Seandainya pembentuk undang-undang mempunyai naskah akademis yang mendukungnya, kontroversi perubahan undang-undang penyiaran seharusnya tidak terjadi. Baca selengkapnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *