Pakar Hukum UGM Nilai Ada 3 Kejanggalan Putusan MK soal Sengketa Pilpres

TEMPO.CO, Yogyakarta – Pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengungkap banyak ketidakadilan terkait putusan Mahkamah Konstitusi atau MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan kontroversial Pilpres 2024 yang diajukan paslon nomor urut 2. 01 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskender serta calon no. 03 Ganjar Pranowo dan Mahfud Md. “Putusan Mahkamah Konstitusi kemarin tidak menentukan keputusan apa yang harus diambil terkait sengketa pemilu presiden,” kata Zainal dalam forum yang digelar Selasa, 23 April 2024 di Fakultas Hukum UGM.

Zaenal mengungkapkan, pihaknya melihat setidaknya ada tiga persoalan mendasar dari putusan mahkamah konstitusi tersebut.

Pertama, seperti yang diakui oleh para hakim sendiri. Hakim Saldi Isra dan Arief Hidayat misalnya, mengatakan alasan putusan tersebut karena ada batasan hukum prosedur yang sangat ketat.

Sistem hukumnya sangat ketat karena proses hukum hanya 14 hari untuk sengketa, hanya satu hari untuk pembuktian, ditambah jumlah orang yang bisa bersaksi dan ahli terbatas, itu yang membuat rumit, kata Zeinal.

Sebab dalam putusan MK, salah satu hal yang kerap disinggung adalah penolakan dalil pemohon karena tidak disertai alat bukti dan ahli. Meski jumlah saksi dan ahli yang bisa dihadirkan terbatas, namun ada 20 hingga 30 argumentasi yang akan diajukan, ada ratusan bidang pembahasan, kata Zeinal. “Bagaimana bisa diliput oleh saksi dan ahli sekaligus?”

Karena rumitnya prosedur tersebut, Zainal menilai perlunya percepatan perbaikan konstruksi undang-undang pemilu, khususnya pemilu presiden di tingkat Mahkamah Konstitusi. “Jika sistem ini tidak diperbaiki, masalah akan terus berlanjut.”

Menurut Zainal, keanehan putusan Mahkamah Konstitusi yang kedua adalah perbedaan karakter hakim. Di satu sisi, ada hakim yang berparadigma judicial activism, yaitu ada yang berani berpikir fundamental, dan ada pula hakim yang mau berpikir formal.

“Putusan Mahkamah Konstitusi kemarin menunjukkan perbedaan hakim, ada hakim yang berpikir terlalu formal, ada hakim yang berusaha keluar dan berpikir lebih progresif,” kata Zainal.

Zainal mencontohkan ketika hakim melihat persoalan bantuan sosial atau bansos. Putusan hakim yang berwawasan formalistik ini menilai bansos jelang pilpres merupakan persoalan moral bagi masyarakat yang terlibat. Namun, tiga hakim agung lainnya berpendapat bahwa bansos pada pemilu bukan sekedar persoalan moral, melainkan persoalan doktrinal sebagai upaya mempengaruhi masyarakat melalui kekuasaan struktural menjelang pemilu presiden.

“Soal pembuktian bansos berguna di tahun pemilu atau tidak, menurut hakim progresif, tidak memerlukan bukti formal, tidak memerlukan bukti bagi menteri untuk menerima bahwa presiden memerintahkan penyaluran bansos.” kata Zainal. “Logika ketiga hakim agung (berwawasan progresif) tersebut adalah selama bansos diberikan pada tahun pemilu, maka bansos mempunyai insentif elektoral bagi presiden.”

Kesalahan ketiga, dalam putusan MK ada tiga hakim yang merekomendasikan pemungutan suara ulang di sejumlah provinsi bermasalah, alih-alih menganulir kemenangan Prabowo-Gibran. “Walaupun di beberapa provinsi pemohon tidak mengajukan permohonan untuk dipilih kembali, seolah-olah mencari jalan tengah, namun hakim menyetujuinya, meski pada akhirnya tidak ada yang menyetujui (untuk dipilih kembali),” ujarnya.

Pilihan Redaksi: Dissenting Opini Hakim MK Minta Sidang Ulang, Begini Kata Bawaslu

Sivitas akademika UGM menilai maksud putusan sela PTUN hilang karena hasil putusan sidang moral Nurul Ghufron sudah ada dan hanya boleh dibacakan oleh Dewan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Baca selengkapnya

Tidak hanya perguruan tinggi yang mempunyai lembaga hukum (PTNBH), di sini terdapat perbedaan jenis status perguruan tinggi lain terkait UKT. Baca selengkapnya

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyatakan kesepakatan perubahan peraturan mahkamah konstitusi dicapai melalui proses yang salah. Baca selengkapnya

Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum UGM merespons peristiwa pelanggaran HAM pada PWF 2024 di Bali. Baca selengkapnya

Dosen Fakultas Teknik UGM ini menciptakan dua drone sebelum dilantik menjadi guru besar. Diklaim lebih murah dibandingkan produk luar negeri. Baca selengkapnya

MK memutuskan menerima eksepsi yang ditawarkan PKS dan menolak permintaan beberapa pihak lainnya. Baca selengkapnya

Mahkamah Konstitusi tidak menerima permohonan Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dalam sengketa pemilu legislatif DPR RI di 19 provinsi. Baca selengkapnya

Guru Besar Kebencanaan yang juga Presiden BNPB periode 2008-2015, Syamsul Maarif menuturkan, penanganan bencana seringkali mengabaikan situasi sosiologis para korban. Baca selengkapnya

Ketua Umum PDK Hasim Asy’ari menjawab pertanyaan bahwa hampir seluruh upaya banding PPP ke Mahkamah Konstitusi tidak berhasil dalam putusan pembatalan tersebut. Baca selengkapnya

MK memutuskan permohonan PPP dalam sengketa pemilu legislatif DPR RI di daerah pemilihan Aceh II tidak diterima karena kabur atau tidak jelas. Baca selengkapnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *