Peristiwa Reformasi Mei 1998 dari Kaca Mata Mendiang Salim Said

TEMPO.CO, Jakarta – Peristiwa reformasi Mei 1998 menandai awal baru pembentukan pemerintahan Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia bergejolak menuntut reformasi dan memaksa Presiden Soeharto mundur. Namun tindakan tersebut diwarnai dengan tragedi yang memakan korban jiwa akibat tindakan represif aparat.

Hingga saat ini, banyak pihak di luar pemerintahan yang menceritakan kisah kelam reformasi 1998. Namun melalui tulisan mendiang Salim Said, tokoh pers dan film nasional serta mantan Duta Besar Indonesia untuk Republik Ceko, kita mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Orde baru saat itu.

Artikel tentang peristiwa Mei 1998 terdapat dalam buku From Gestapo to Reform: A Series of Testimonies (2013). Dalam buku terbitan Mizan ini, pembaca seakan ikut terlibat melihat apa yang terjadi pada 14 Mei 1998 hingga lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 dari sudut pandang pejabat pemerintah.

Salim Said mengungkapkan dirinya sedang berada di Mabes ABRI, kini TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, saat Jakarta terbakar pada 14 Mei 1998. Bersama beberapa pimpinan ABRI dan sejumlah kecil tokoh intelektual – antara lain Nurkolish Madjid, Ip Saifullah, Indria Samego dan Rias Rasid – mereka diundang untuk berdiskusi mengatasi krisis yang dihadapi Indonesia saat itu.

Diskusi tidak dapat dilanjutkan karena telepon genggam Letjen TNI Hari Subarno, Ketua Fraksi ABRI di MPR, berdering dengan berita meningkatnya penyebaran kebakaran di Jakarta. Kerusuhan sebenarnya bermula dalam skala terbatas tak lama setelah empat mahasiswa korban penembakan dimakamkan di Universitas Trishakti.

“Setelah Letjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono, Kepala Staf Sosial dan Politik yang menyelenggarakan rapat tiba-tiba meninggalkan sidang, kami semua sepakat untuk mengakhiri rapat,” tulis Salim.

Agenda selanjutnya adalah kembali ke Jakarta. Ternyata itu tidak mudah. Kerusuhan mendekati dua pintu tol di pinggir timur Jakarta yang harus dilalui Salim Syed untuk masuk ke kota. Dengan susah payah melewati jalan setapak tikus dari arah Bekasi, akhirnya ia sampai di rumahnya yang terletak di Sipinang Muara, Jakarta Timur. Selain itu, Salim Saeed hanya bisa mengikuti berita terbakarnya Jakarta melalui beberapa saluran televisi.

Saat peristiwa Mei 1998 terjadi, Salim mengaku sudah hampir 50 tahun tinggal di Jakarta. Ia selamat dari segala kerusuhan di Jakarta sejak ia menetap di Ibu Kota. Ia mengatakan, kerusuhan yang akhirnya menjatuhkan Soeharto memang paling seru dan menakutkan. Kebakaran dan penjarahan terjadi di setiap sudut dan ratusan kematian tidak dapat dihindari.

“Bagi saya, ini adalah luapan amarah yang sudah mereda selama bertahun-tahun, sehingga tidak mudah lagi untuk menuding siapa yang mengemudikannya dan apa motifnya,” tulis mantan reporter senior Time ini. .

Berikutnya: Salim Saeed menerima kabar meninggalnya mahasiswa Trishakti

Salim mengaku sedang dalam perjalanan menuju rumah Letjen TNI Mohammad Yunus Yosiah pada 12 Mei lalu saat kabar terbunuhnya empat mahasiswa Universitas Trishakti masuk melalui telepon genggamnya. Informannya adalah sutradara film Chairul Umam, seorang teman lama yang anggota keluarganya adalah seorang pelajar yang dibunuh sore itu.

Pembunuhan empat mahasiswa tersebut mengingatkan Salim Said pada tewasnya Arif Rahman Hakim di depan Istana Merdeka saat demonstrasi tahun 1966. Apakah Arif terkena peluru nyasar dari prajurit Kakrabirwa yang menjaga istana atau dari senjatanya sendiri? . Siapa yang merencanakan untuk menjadi martir, tidak pernah jelas sampai saat ini. Yang jelas hari Arif tertembak adalah titik awal jatuhnya Presiden Sukarno.

“Begitu saya mendapat kabar meninggalnya mahasiswa Tri Shakti, saya sampaikan kepada Jenderal Yunus, ‘Kita berada di hari-hari terakhir rezim Orde Baru,’” ujarnya.

Presiden Soeharto sedang berada di Kairo saat kerusuhan terjadi. Salim Said menulis bahwa, bahkan sebelum Presiden mendarat di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma pada pagi hari tanggal 15 Mei, tidak ada satupun dari mereka yang percaya bahwa rezim Orde Baru akan bertahan. Selain itu, tekanan terus meningkat agar Soeharto segera mundur. Tuntutan ini disuarakan di jalan-jalan dan di gedung DPR/MPR.

Menjelang tanggal 20 Mei, Amien Rice, tokoh terpenting gerakan reformasi dan saat itu menuntut mundurnya Soeharto, mengumumkan bahwa pada tanggal 20 Mei seluruh masyarakat akan membanjiri kawasan Monumen Nasional (Monas) secara massal. Menangis agar Soeharto mundur. Agenda tersebut tak terlaksana setelah pejabat TNI meminta Amien Rice membatalkan rencana tersebut. Ada kekhawatiran agenda tersebut akan memicu tragedi yang lebih luas.

Aparat keamanan punya alasan kuat saat memutuskan menghentikan aksi massa di Monas. Yang dikhawatirkan para pejabat militer adalah massa akan menyebar ke mana-mana. Bahkan, di sekitar Monas terdapat beberapa bangunan penting: Rashtrapati Mahal, Mabes TNI, Kementerian Pertahanan, Gedung Telkom, Studio Pusat RRI, Bursa Efek dan beberapa kementerian lainnya.

Untuk mencegah massa berkumpul, pihak militer memasang barikade dengan tank, tank, berbagai kendaraan militer lainnya serta barikade kawat berduri di seluruh jalan menuju Lapangan Monas. Dan tentu saja sejumlah besar prajurit telah siap berperang. Amin Rais akhirnya membatalkan rencana pertemuan massal tersebut. Namun pihak tentara tidak mau mengambil risiko dan Monas tetap ditutup dari segala sudut.

“Pada saat penutupan inilah saya mendapat telepon dari staf Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono untuk menghadiri pertemuan pada 20 Mei pukul 19.00 di Gedung Urip Sumohardjo Kompleks Pertahanan dan Keamanan yang terletak di Jalan Merdeka Barat,” tulisnya. Salim Diris.

Salim Saeed menghadiri undangan pertemuan tersebut. Namun, mobil hanya bisa membawa Anda ke Monumen Menteng Raya Thani karena di situlah letak “garis batas”. Dari situ ia memasuki kawasan Monas, melintasi barikade, dengan mobil militer yang dikendarai Mayor Benny, staf Kantor Kepala Staf Sosial dan Politik, yang bertugas mengawalnya hingga “perbatasan”. Monas sepi, jalanan sepi, dan hanya beberapa kendaraan militer yang melaju.

“’Penyeberangan’ ke kawasan Monas yang dijaga ketat mengingatkan saya pada pengalaman penyeberangan dari Berlin Barat ke Berlin Timur yang pertama kali saya alami pada musim semi tahun 1970,” tulisnya.

Dalam pertemuan tersebut tampak kemungkinan Soeharto mundur dan penggantinya dibicarakan. Pengangkatan Wakil Presiden BJ Habibi harus dilakukan sesuai aturan hukum. Namun kewibawaan BJ Habibi dipertanyakan. Tapi, apapun yang terjadi, aturan tetaplah aturan.

Keesokan harinya di Istana Kepresidenan, seperti yang telah diketahui, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan yang dijabatnya selama hampir 32 tahun. Dan Habibie pun langsung dilantik sebagai Presiden ketiga RI, tulisnya. . kata Salim.

Sementara itu, tokoh pers dan film nasional sekaligus mantan Duta Besar RI untuk Republik Ceko Salim Said meninggal dunia pada Sabtu 18 Mei 2024 pukul 19.33 WIB usai menjalani perawatan di RS Sipto Mangunkusumo, Jakarta. Dalam pesan singkat yang diterima sejumlah wartawan di Jakarta, Sabtu 18 Mei 2024, kabar meninggalnya Salim Said dibenarkan istrinya, Herawati.

Jenazah Salim Said akan dimakamkan di rumah duka di Jalan Redaksi Nomor 149, Kompleks Jurnalis PWI, Sipinang, Jakarta Timur. Rencananya jenazah Salim Said akan dimakamkan pada Minggu, 19 Mei 2024 sore, di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Salim Saeed meninggal dunia pada usia 80 tahun. Beliau merupakan akademisi kelahiran 10 November 1943 di Amparita Perepare, Kota Pereper, Sulawesi Selatan.

Hendrik Khoirul Muhid | Hendrik Yaputra

Pilihan Editor: Reformasi 1998/l Amien Rice menerima panggilan telepon dari Mabes TNI yang meminta Soeharto mundur sebelum membatalkan aksi mahasiswa di Monas.

Kisah HM Lucknow memulai perusahaan tekstil Shreetex sangat menarik. Bagaimana beliau membangun industri tekstil dimulai dari Pasar Pintar, Solo. Baca selengkapnya

Juru bicara Partai Gerakan Maju (MFP) mengomentari keadaan demokrasi di Thailand. Ia yakin negaranya masih memiliki sisa-sisa kekuasaan militer. Baca selengkapnya

Film “Yang (Never) Disappeared” menceritakan perjalanan hidup Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah yang hilang pasca kerusuhan reformasi tahun 1998 Baca

Selama menjabat Presiden RI, BJ Habibi memberikan ruang yang luas terhadap hak asasi manusia dan demokrasi, kebebasan pers, dan kebebasan berpendapat. Baca selengkapnya

BJ Habibie dengan visinya di bidang teknologi dan kontribusinya di dunia politik dikenang sebagai tokoh demokrasi Indonesia. Baca selengkapnya

Mantan Menteri BUMN Tanri Abeng meninggal dunia. Begitulah kenangan Jusuf Kalla, Ahok, Bahlil, dan Suharso Monorfa. Baca selengkapnya

Pada akhir tahun 1996, Tanri Ebeng dijuluki Manajer Rp 1 miliar karena menerima uang sebesar itu untuk memimpin perusahaan milik Aburizal Bakri. Baca selengkapnya

Tanri Abeng pernah menjabat Menteri Negara Pendayagunaan BUMN pada Kabinet Pembangunan VII dan Kabinet Reformasi Pembangunan. Baca selengkapnya

Program-program yang menghancurkan anggaran kemungkinan akan mendorong defisit anggaran di atas 3 persen pada tahun depan. Baca selengkapnya

Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan dia menunda rencana reformasi pemilu di wilayah luar negerinya di Kaledonia Baru. Baca selengkapnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *