Sejarah Parsel Lebaran, Dari Simbol Balas Budi Hingga Dicurigai sebagai Gratifikasi

TEMPO.CO, JAKARTA – Lebaran akan terasa aneh tanpa paket atau bingkisan. Tradisi mengirim bingkisan erat kaitannya dengan perayaan tidak hanya Idul Fitri, tapi hari raya besar banyak agama. Kebiasaan ini rupanya bermula dari sebuah cerita yang memiliki makna mendalam.

Dosen Sejarah Universitas Airlanga Una Murdiati mengatakan budaya tukar kado sudah ada sejak zaman kolonial. Namun tentunya terjadi berbagai perubahan baik dari segi, bentuk, dan makna dalam budaya tersebut, ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis, 5 April 2024.

Pada masa penjajahan Belanda, pembagian bingkisan hanya dilakukan pada kelompok tertentu, kata Murdiati. Penyebabnya adalah kesenjangan sosial dan ekonomi pada saat itu.

Budaya parsel belum populer bahkan pada masa penjajahan Jepang yang terkenal kejam. Masyarakat lebih fokus pada kelangsungan hidup dan mengatasi kesulitan sehari-hari. Praktek ini belum populer pada masa rezim Presiden Sukarno.

Pengiriman parsel baru kembali muncul pada tahun 1980-an. Saat itu, paket liburan biasanya berupa santapan hari raya yang sederhana. “Tetapi isi parsel berubah seiring berjalannya waktu. “Ada benda-benda kaca seperti kain, gelas, dan bunga,” kata Murdiati.

Di era Y2K, budaya berbagi parsel menjadi semakin populer seiring dimulainya milenium baru. Saat itu, kata “keranjang” sering terdengar. Terakhir, beberapa pedagang menggunakan hadiah untuk membeli dan menjual produk.

Menurut Murdiati, kepopuleran humper telah menyebabkan penyalahgunaan harkat dan martabat masyarakat. Pada tahun 2005, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan peraturan yang melarang pejabat dan pegawai negeri (PNS) terlibat dalam penghalangan Idul Fitri.

Hal ini berkaitan dengan kepuasan, yang seringkali datang melalui rintangan. Saat ini aturan tersebut berlaku sesuai Surat Edaran BPK (SE) Nomor 1636IGTF.00.02/01/03/2024 tentang Pencegahan dan Pengendalian Imbalan Idul Fitri.

Pentingnya sosial Idul Fitri

Dulu, hampers merupakan salah satu cara untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada penerimanya. Seiring berjalannya waktu, makna layang-layang berubah menjadi bentuk pujian dan penghargaan terhadap orang lain, terutama pada saat hari raya keagamaan dan acara sosial. Uang ini sekaligus menjadi tonggak awal tradisi pembagian parsel lebaran.

Makna layang-layang, lanjut Murdiati, telah berkembang menjadi simbol yang kompleks dalam masyarakat modern. Perkembangan ini mengikuti perubahan budaya dan nilai-nilai sosial.

Kini penggunaan keranjang seringkali menjadi indikator status sosial baik pengirim maupun penerima. Memberi kemewahan atau keranjang eksklusif bisa menjadi salah satu cara untuk menunjukkan status atau kekayaan. Sebaliknya, penerima hamper mungkin menganggap pemberian hadiah sebagai pengakuan atas status sosial mereka di masyarakat.

“Semakin tinggi nilai keranjang yang dihadiahkan atau diterima, semakin besar kemungkinan itu merupakan tanda status sosial yang lebih tinggi,” kata Murdiati.

Kesimpulannya, keranjang tidak hanya menjadi simbol kedermawanan dan rasa syukur, namun juga mencerminkan dinamika struktur sosial dan budaya yang kompleks dalam suatu masyarakat.

Menurut Murdiati, pengiriman keranjang sudah menjadi bagian dari ritual sosial. Tradisi tidak terbatas pada pertukaran benda. “Tetapi itu melibatkan permainan demi status dan pengakuan.”

Pilihan Redaksi: Kisah Parcel Lebaran: Dari Simbol Sederhana Balas Dendam Kado Mencurigakan

Ketua IPW Sugeng Tegu Santoso yakin Kejagung menilai laporannya tentang KSST tidak benar. Baca selengkapnya

Komite Pemberantasan Korupsi menyikapinya dengan membentuk Panitia Calon Pimpinan dan Dewan Pemberantasan Korupsi di bawah Komite Pemberantasan Korupsi. Baca selengkapnya

Mantan penyidik ​​senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Roman Baswedan bereaksi terhadap pembentukan Panitia Seleksi atau Panel KPK yang dibentuk Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Menurut Roman, kerja nama-nama partai masih perlu diawasi dalam menyeleksi calon pimpinan BPK periode berikutnya. Baca selengkapnya

Karen Augustiawan tak terima dengan tuntutan jaksa KPK yang disodorkan padanya. Baca selengkapnya

Komite Pemberantasan Korupsi (CEP) meminta Corpus Christi ikut serta dalam pembayaran ganti rugi dalam kasus korupsi LNG yang melibatkan mantan Direktur Utama Pertamina Karen Augustiawan. Baca selengkapnya

Karen Augustiawan, mantan Direktur Utama Pertamina, divonis 11 tahun penjara dan denda. Baca selengkapnya

Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut keputusan sementara pengadilan tipikor yang membebaskan Ghazalba Saleh tidak memiliki dasar hukum. Baca selengkapnya

Zampidsus Jaksa Agung Fabri Adriancia mengatakan Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang ricuh, disusul anggota Densus 88. Baca selengkapnya

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Nurul Gufaron mengatakan lembaganya independen dan tidak akan meminta surat kepada Jaksa Agung untuk melimpahkan pengaduan tersebut. Baca selengkapnya.

Harun Masiku merupakan tersangka kasus suap terhadap Komisioner KPK periode 2017-2022 Wahiu Setiawan dan menjadi buronan KPK sejak tahun 2020. Baca selengkapnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *