Seruan All Eyes on Papua, Kenapa Kita Harus Peduli?

NEWS24.CO.ID – Media sosial di Indonesia belakangan ini dibanjiri seruan “semua mata tertuju pada Papua”. Kampanye tersebut merupakan bentuk dukungan terhadap masyarakat Papua yang saat ini berupaya mengubah hutan tradisionalnya menjadi perkebunan kelapa sawit.

Menurut situs Greenpeace, suku Ayu di Bowen Digoel di Papua bagian selatan dan suku Moi di Sorong di barat daya Papua telah mengajukan tuntutan hukum terhadap pemerintah dan perusahaan kelapa sawit untuk melindungi hutan tradisional mereka. Kini kasus tersebut telah mencapai titik puncaknya di Mahkamah Agung.

Baru-baru ini, aktivis lingkungan hidup suku Ayu dan Moi menggelar doa dan upacara di depan Gedung Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat dengan mengenakan pakaian adat suku mereka. Aksi demonstrasi ini digelar pada pekan lalu, Senin 27 Mei 2024.

“Kami datang untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak yang telah dirampas dari perusahaan kelapa sawit yang saat ini berjuang untuk menempuh jarak yang jauh, rumit dan mahal dari Tana Papua ke ibu kota, Jakarta,” kata pejuang lokal dari kelompok tersebut. suku. AVU, Hendrikus Voro, minggu lalu.

Seruan kepada Mahkamah Agung untuk menjamin kedaulatan hukum masyarakat lokal disampaikan oleh perwakilan masyarakat lokal, Moi Sigin dan Fíctor Clafeu. “Hutan adat tempat kami berburu dan mengumpulkan sagu, hutan itu apotek, semua kebutuhan kami hanya hutan. Jika hutan tradisional kita dirusak, kemana lagi kita akan pergi? dia berkata.

Video aksi damai aktivis lingkungan hidup pun beredar di media sosial. Hal ini akan membuat bangsa Indonesia semakin semangat dalam mendukung perjuangan rakyat Papua.

Selain Kecemasan: Apa Alasan Kami Disebut “Semua Mata Tertuju Papua”? Simak detailnya di bawah ini.

Alasan seruan tersebut adalah “semua mata tertuju pada Papua”.

Hendrikus Woro, pemerhati lingkungan asal suku Ayu, menggugat pemerintah negara bagian Papua untuk menerbitkan izin lingkungan kepada PT Indo Asiana Lestari (ILL). Izin tersebut mencakup lahan seluas 36.094 hektare atau lebih dari separuh luas Diki Jakarta. Tanah tersebut terletak di dalam hutan adat suku Woro yang merupakan bagian dari suku Ayu.

Namun upaya hukum Hendrix ditolak oleh pengadilan tingkat pertama dan kedua. Kini, harapan terakhir suku Ayui untuk menjaga hutan adatnya yang merupakan warisan dan penghidupan suku Woro adalah Mahkamah Agung, lembaga peradilan tertinggi.

Di sisi lain, sub suku Moi Sijin sedang berkonflik dengan PT Sorong Agro Savitindo (SAS). Perusahaan berencana menebangi hutan adat Moi Sijin seluas 18.160 hektar untuk perkebunan kelapa sawit.

PT SAS sebelumnya mendapatkan konsesi seluas 40.000 hektar di Kabupaten Sorong, Papua. Pemerintah pusat telah membatalkan izin hutan dan izin usaha PT SAS pada tahun 2022. Namun PT SAS mengajukan gugatan atas keputusan tersebut ke PTUN Jakarta.

Perwakilan masyarakat adat Moi Sijin protes dengan menampilkan diri sebagai pihak dalam persidangan Desember 2023 oleh PTUN Jakarta. Setelah hakim menolak tuntutan awal pada bulan Januari lalu, masyarakat setempat Moi Sijin mengajukan banding ke Mahkamah Agung. 3 Mei 2024

Jika konflik antara masyarakat suku yang ada dengan pemerintah dan perusahaan terus berlanjut, maka tiga orang akan terluka akibat konflik tersebut. Salah satunya dengan hadirnya perusahaan kelapa sawit PT IAL dan PT SAS yang dapat merusak hutan yang menjadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya dan pendidikan masyarakat Ayu dan Moi.

Selasa, 4 Juni 2024 Jurukampanye hutan Greenpeace Indonesia Assep Komaruddin mengatakan, “Hilangnya kapasitas jika tidak diatasi terutama akan berdampak pada hilangnya habitat masyarakat lokal yang hidup harmonis dengan alam.”

Kedua, hutan konvensional merupakan habitat flora dan fauna Papua, sehingga masyarakat adat bisa kehilangan keanekaragaman hayati di hutan alam tersebut. Ketiga, menurut ASEP, deforestasi besar-besaran ini menyebabkan emisi karbon dioksida.

“(Hal ini) akan meningkatkan kontribusi Indonesia terhadap emisi karbon dioksida yang akan memperburuk krisis iklim,” ujarnya.

Operasi PT IAL dan PT SAS dikhawatirkan akan menyebabkan deforestasi yang akan melepaskan 25 juta ton CO2e ke atmosfer. Hal ini dapat memperburuk dampak krisis iklim di negara tersebut.

Lebih lanjut menurut ASEP, konflik ini terjadi karena masyarakat adat sebagai pemilik hutan adat tidak ikut serta dalam proses pelepasan hak ulayat. Ia juga mengatakan agar hutan bersama tersebut dikembalikan kepada pemilik aslinya, yaitu suku Aui dan suku Moi. “Hutan adat harus dikembalikan kepada masyarakat adat sebagai pemilik hutan,” kata Asep.

Putri Merah

Pilihan Editor: Densus 88 tampaknya telah membangun “Pos Cipete” untuk memata-matai Jmpidsus selama lebih dari setahun.

Di Papua sendiri terdapat 255 suku dengan bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Baca selengkapnya

Pertentangan Ayu dan Moe di mata semua orang di Papua adalah salah satu dari banyak situasi yang dihadapi masyarakat adat dan lokal. Baca selengkapnya

Sepuluh tahun setelah suku Ayu memulai perjuangannya di desanya Bowen Digoel, muncullah tagar viral di Papua. Baca selengkapnya

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Amman) menilai langkah Presiden Jokowi yang membagikan izin pertambangan kepada organisasi keagamaan telah memperparah konflik lintas batas. Baca selengkapnya

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendokumentasikan beberapa kasus pelanggaran hak masyarakat adat yang dilakukan korporasi di Sorong Raya, Papua. Baca selengkapnya

Surya Dharmadi memperkirakan nilai harta benda yang disita Jaksa Agung lebih besar dari jumlah yang ditetapkan Mahkamah Agung. Baca selengkapnya

Hendrikus Woro memimpin komunitas adat suku Ayu di Bowen Digoel, Papua Selatan, menentang perluasan perkebunan kelapa sawit. Baca selengkapnya

Hendrikus Voro, warga asli suku Ayu, berbicara kepada Tempo soal perjuangan hukum masyarakat adat. Kunjungi komunitas kencan lokal Anda. Baca selengkapnya

Gerakan solidaritas ini mendukung upaya suku Ayu dalam menyelamatkan tanah adatnya dari perkebunan kelapa sawit Bowen Digoel di selatan Papua. Baca selengkapnya

Hashtag All Eyes on Papua bukan hanya soal dunia maya. Kerusakan lingkungan dan permasalahan tanah adat menjadi perhatian berbagai pihak. Baca selengkapnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *