Tidak Hanya Tobelo Dalam di Halmahera, Berikut 6 Suku Pedalaman yang Ada di Indonesia

TEMPO.CO , Jakarta – Indonesia memiliki banyak suku yang berbeda-beda. Berdasarkan data Sensus BPS 2010, total ada 1.340 suku bangsa di Tanah Air. Populasi etnis tersebut meliputi masyarakat adat yang tinggal di seluruh pelosok Indonesia.

Di bawah ini adalah beberapa suku Indonesia yang mempunyai ciri khas yang berbeda-beda, salah satunya adalah Suku Tobelo Dalam atau biasa disebut Togutil oleh masyarakat awam, yang baru menyebar setelah memasuki wilayah pertambangan di Halmehra, Maluku Utara.

1.Tobelo Dalm

Suku Tobelo Dalam merupakan suku pedalaman yang berasal dari Maluku Utara. Suku ini sering disebut dengan suku Togutil dan merupakan kelompok yang lebih tertutup dibandingkan dengan suku Tobelo pesisir. Dalam bahasa setempat, kata Togutil sendiri adalah o’hunga manyawa yang artinya mundur, cegukan, dan ditinggalkan. Oleh karena itu, kata Togutil kerap dianggap sebagai hinaan bagi warga Tobelo Dalam.

Suku yang menggunakan bahasa Tobelo untuk berbicara ini masih memegang teguh keyakinan dan adat istiadatnya. Sifat utama mereka tercermin dalam keinginan mereka untuk hidup di luar kelompoknya dan di luar dunia modern.

Karena cara hidup mereka yang nomaden, komunitas suku ini pun menyebar ke berbagai wilayah lain di Maluku. Ada Suku Tobelo Dalam yang tinggal di Taman Nasional Aketajawe-Lolobata. Selain itu masih banyak lagi yang tersebar di Totoduku, Tukur-Tukur, Hutan Kobekulo dan Hutan Vasile di sebelah timur Ternate.

2. Lingon

Orang Lingon terkenal memiliki mata berwarna biru, berbeda dengan warna mata suku lain di Indonesia. Seperti halnya suku Tobelo Dalam, suku Lingon juga berasal dari wilayah Halmehera di Maluku Utara.

Tak hanya warna matanya, suku kelengkeng kerap disebut-sebut berbeda dengan masyarakat maluku. Kebanyakan orang Lingon bertubuh tinggi, berkulit putih, dan berambut pirang atau coklat. Hal ini membenarkan anggapan bahwa terjadi perkawinan campur antara penduduk kawasan ini dengan ras bule, seperti ras Eropa.

Asal usul pasti keberadaan suku ini masih menjadi misteri. Salah satu legenda yang sering terdengar adalah bahwa pada zaman dahulu sebuah kapal Eropa tenggelam di perairan sekitar Pulau Halmehra dan para penumpangnya berdiam di sana untuk menyelamatkan diri.

Keberadaan dan informasi detail anggota keluarga Lingon masih belum diketahui. Ada laporan bahwa spesies ini punah di Indonesia, namun ada pula masyarakat yang percaya bahwa mereka hanya menjauhi dunia luar agar bisa hidup tenang tanpa takut diganggu.

3. Badui Batin

Suku di Banten, Kabupaten Lebak, merupakan salah satu suku pedalaman Indonesia yang masih menolak eksklusi seperti listrik, perangkat elektronik seperti gadget, dan akses internet. Berbeda dengan suku Badui luar, suku Badui dalam sepenuhnya membatasi diri untuk memasuki dunia luar.

Namun, berbeda dengan banyak suku pedalaman lain yang sulit dijangkau, suku pedalaman Badui masih cukup terbuka menerima pendatang dari luar wilayah mereka. Mereka tetap menerima kunjungan pihak luar pada hari dan waktu tertentu asalkan mengikuti aturan yang berlaku di sana.

Mereka menganut ajaran Vivitan Sunda yang mempercayai roh nenek moyang dan memuja kekuatan besar alam yang mereka yakini (takhayul) dan mereka sangat menghormati kepala adat yang disebut Pu’un.

Permukiman suku Badui Dalam terletak di dekat sumber air atau sungai, sehingga kelangsungan hidup mereka bergantung pada kondisi air sungai. Berangkat dari hal itu, masyarakat Badui juga sangat mementingkan perlindungan alam sekitar.

Karena tidak mempunyai alat transportasi, suku Badui Dalam terbiasa berjalan kaki. Meski bisa melakukan perjalanan jauh, namun ada aturan yang memberikan batasan waktu bagi masyarakat Badui yang melakukan perjalanan untuk meninggalkan daerahnya. Jika Anda melanggar, ada hukuman, paling sering berupa pengusiran anggota suku.

4. Dia mencintai

Marga Wana berasal dari daerah di wilayah Sulawesi Tengah bagian timur. Wilayah ini meliputi Kabupaten Poso (terutama di Kabupaten Ampana Tete, Ulu Bongka, dan Bungku Utara), Kabupaten Morowali (Kabupaten Mamolosato, Petasia, dan Soyojaya), dan di Kabupaten Luvuk Bangai.

Suku Wana biasa menyebut dirinya Tau Ta (orang Tau), orang luar menyebutnya Tau Ta Wana artinya orang yang tinggal di kawasan hutan. Kata ini mengacu pada bahasa yang mereka gunakan yaitu bahasa Ta. Bahasa ini dikenal juga dengan bahasa Ingkar yang masih termasuk dalam kelompok bahasa Pamona.

Meski merupakan suku pedalaman, suku Wana tetap menjaga hubungan baik dengan penduduk pesisir, terutama untuk memperoleh barang-barang logam. Mata pencaharian mereka adalah bertani seperti padi, jagung, umbi-umbian, kopi, pisang, dan kelapa. Seringkali suku Wana mengumpulkan batu mulia, damar, atau kayu ulin untuk dijual agar uangnya bisa digunakan untuk membeli kebutuhan di pesisir pantai.

Selain percaya pada persaingan dan perjalanan, banyak anggota suku Wana yang sering bertemu dengan orang Bugis, Mori, Ampana, atau Bajau yang masuk Islam. Beberapa menerima agama Kristen Protestan dengan ajaran yang dibawa ke Lemo oleh pengkhotbah lain.

5. Punan Dayak

Suku ini berasal dari Kalimantan. Keberadaannya terbagi di beberapa wilayah, dua di antaranya berada di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar) dan Mahakam Hulu, Kalimantan Timur (Kaltim). Pada tahun 2019, Suku Dayak Punan di kedua wilayah berhasil berintegrasi. Beberapa suku kecil tersebut adalah Punan Uheng Kereho, Punan Howongan, Bukat Kalimantan Barat dan Bukat, Seputan dan Aheng Kaltim.

Sebagai salah satu suku Dayak tertua, sebaran suku Dayak Punan di Kalimantan bisa dikatakan cukup besar. Kata Punan sendiri merupakan sebutan akrab bagi sekelompok pemburu-pengumpul yang menjalani gaya hidup nomaden di hutan Kalimantan. Itulah sebabnya suku Dayak Punan sering disebut “penjaga hutan”.

Yang unik dari suku Punan khususnya suku Punan Batu adalah mereka masih mempertahankan bahasa lagu (Latala) yang tidak mempunyai hubungan kebahasaan dengan bahasa Kalimantan lainnya. Secara turun temurun, bahasa musik suku Punan Batu banyak menggunakan nada, pengulangan kata atau frasa, dan penggunaan metafora. Isi musik mereka seringkali menggambarkan pengetahuan dan kearifan lokal tentang alam, flora, fauna bahkan obat-obatan yang mereka miliki.

6. Korowai

Dari dataran tinggi Papua hingga pedalaman Papua bagian selatan, suku Korowai atau Korowe baru melakukan kontak dengan dunia luar hingga tiga dekade lalu. Hingga tahun 2023, populasi spesies ini diketahui berjumlah 3.000 individu sejak pertama kali ditemukan di hutan Papua pada tahun 1974.

Keunikan suku Korowai adalah rumahnya dibangun di atas pohon dan bukan di atas tanah. Rumah yang mereka tempati biasa disebut rumah zam atau rumah angkat yang dibangun di atas batang pohon kecil sebagai pondasinya dengan jarak 3 sampai 9 meter dari permukaan tanah. Namun ada juga jenis rumah Zhou yang dibangun hanya satu meter di atas permukaan tanah, namun jumlahnya tidak sebanyak rumah Zhou.

Tujuan dibangunnya rumah dengan model jenis ini adalah untuk menghindari serangan binatang buas dan gangguan roh jahat yang sering disebut Lalio. Bagi suku Korowai, kata lleo juga berlaku untuk semua orang asing yang bukan dari sukunya.

Suku Korowai hidup dengan berburu dan mengumpulkan tumbuhan liar. Mereka tinggal di kawasan hutan sekitar 150 km dari Laut Arafura.

7. Anak batiniah

Suku Anak Dalam atau dikenal juga dengan suku Kubu merupakan suku pedalaman yang mendiami Jambi, di kawasan hutan lebat di Pulau Sumatera bagian tengah. Pada tahun 2022 diperkirakan jumlah penduduk suku Anak Dalam mencapai 200.000 jiwa.

Kata kubu sendiri berasal dari kata nagubu atau nagubun yang dalam bahasa Melayu berarti bersembunyi di dalam hutan. Meski sebagian besar sudah menjadi negara pertanian karet dan lainnya, Anak Dalam Batin Sembilan yang seluruhnya tinggal di Provinsi Sumatera Selatan, khususnya wilayah Rawas Rupit dan Musi Lakitan, masih mengandalkan kelapa sawit sebagai mata pencahariannya.

Kepercayaan yang dianut suku batin ini adalah animisme yang memuja kekuasaan surga. Mereka bertahan hidup dengan menggunakan senjata seperti kapak, kapak dan tombak serta berburu bersama.

Pilihan Editor: Badui Dalam banyak dikunjungi pelajar saat liburan sekolah

Berbeda dengan suku Tobelo pesisir yang lebih terbuka, suku Tobelo pedalaman bersifat tertutup dan masih memegang teguh kepercayaan dan adat istiadat yang kuat.

Budaya Seba merupakan budaya Badui, sebagai wujud kepercayaan akan hasil panen yang melimpah. Baca selengkapnya

Seba Badui dilakukan dengan cara menyajikan hasil ladang pertanian tahun ini kepada pemerintah setempat sebagai bentuk rasa syukur. Baca selengkapnya

Katedral Jakarta sedang mempersiapkan perayaan Tri Hari Raya Paskah dengan dekorasi ruangan yang mengacu pada tradisi Betawi dan Dayak. Baca selengkapnya

Selain itu, suku Dayak juga terkenal dengan para pejuangnya yang masing-masing mempunyai kekuatan tersendiri. Baca selengkapnya

KKI Warsi bermitra dengan Kabupaten Malinau untuk mengembangkan sumber daya alam dan mengembangkan ekonomi hijau masyarakat Dayak. Baca selengkapnya

Kekerasan di Sampit menyebabkan lebih dari 500 orang tewas di Kalimantan dan membuat lebih dari 100.000 warga Madura mengungsi. Baca selengkapnya

Prabowo bertekad memastikan hak-hak masyarakat lokal terpenuhi dan meningkatkan kualitas hidup secara merata. Baca selengkapnya

Gereja Katedral Jakarta Tampilkan Wayang Natal Indonesia di Plaza Maria dengan motif Betawi dan Batak Baca Selengkapnya

Presiden Joko Widodo atau Jokowi memberikan sambutan dalam bahasa Dayak saat berkunjung ke Kutai Barat. Berikut arti dan tandanya. Baca selengkapnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *